Perlindungan Konsumen, Anti
Monopoli dan Sengketa
Pertemuan IV
Nama : Dinda Rizky Amalia
NPM : 21217751
Kelas : 2EB17
11.1 Pengertian
Konsumen
Konsumen adalah
semua pihak yang menggunakan barang/ jasa yang ada di masyarakat, baik untuk
kepentingan pribadi, orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk
dijual kembali.
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 tentang Perlindungan
Konsumen, pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa
yang tersedia di masyarakat, baik bagi kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang
lain, atau mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dengan kata lain, sebagian besar konsumen adalah pengguna akhir dari suatu
barang/ jasa. Bila pembelian barang bertujuan untuk dijual kembali, maka
pembeli tersebut adalah konsumen antara yang dikenal dengan
distributor atau
pengecer.
Kata “konsumen” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “consumer” yang artinya adalah setiap
orang yang menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk (barang/ jasa).
11.2 Asas dan Tujuan
11.2.1 Asas Perlindungan Konsumen
Perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1.
Asas manfaat: untuk mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungankonsumen harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan;
2.
Asas keadilan: agar partisipasi
seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil;
3.
Asas keseimbangan: untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spiritual;
4.
Asas keamanan dan keselamatan
konsumen: untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan;
5.
Asas kepastian hokum: agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
11.2.2
Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen juga
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.
Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi;
5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau
jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
11.3 Hak dan Kewajiban Konsumen
11.3.1 Hak Konsumen
Hak
konsumen telah di atur dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu :
1.
Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam memakai barang dan jasa.
2.
Hak konsumen dalam memilih barang atau jasa serta
memperoleh barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar atau kondisi
serta jaminan yang dijanjikan.
3.
Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur tentang kondisi serta jaminan barang atau jasa yang di beli.
4.
Hak konsumen untuk di dengar pendapat atau
keluhannya yang terkait dengan barang/jasa yang digunakannya.
5.
Konsumen berhak untuk mendapatkan perlindungan,
advokasi dan juga upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dengan
patut
6.
Konsumen berhak untuk memperoleh pembinaan serta
pendidikan konsumen
7.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi,
dan/atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan surat perjanjian.
8.
Konsumen berhak untuk memperoleh perlakuan serta
pelayanan yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
9.
Hak-hak yang di atur dalam ketentuan
perundang-undangan lainnya. Dengan adanya ketentuan ini maka akan membuka
peluang pemerintah untuk dapat menjamin pemenuhan hak dari konsumen yang belum
diatur.
11.3.2
Kewajiban konsumen
Selain konsumen memiliki hak, konsumen juga
memiliki kewajiban konsumen yang diatur dalam pasar 5 UU Perlindungan Konsumen.
Berikut beberapa kewajiban konsumen :
1.
Membaca dan mengikut petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan
keselamatan konsumen.
2.
Memiliki itikad yang baik dalam bertransaksi
pembelian barang atau jasa.
3.
Wajib membayar setiap pembelian barang atau jasa sesuai
dengan nilai yang telah disepakati
4.
Wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen dengan patut.
11.4
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
11.4.1 Hak Pelaku Usaha
Menurut
Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak pelaku usaha adalah :
1.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di
dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti
secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
5.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundangundangan lainnya.
11.4.2
Kewajiban Pelaku Usaha
Menurut
Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah :
1. Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3. Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
11.5 Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8
tahun 1999, mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan
dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan ,
larangan-larangan dalam penjualan secara obral / lelang , dan dimanfaatkan
dalam ketentuan periklanan:
1.
Larangan dalam
memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang
atau jasa, misalnya :
·
Tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan;
·
Tidak
sesuai dengan berat isi bersih atau neto;
·
Tidak
sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
·
Tidak sesuai denga
kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau
keterangan barang atau jasa tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;
·
Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
·
Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran ,
berat isi atau neto
2.
Larangan dalam menawarkan
/ memproduksi
pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang
atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah .
·
Barang tersebut telah
memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
·
Barang tersebut dalam
keadaan baik/baru;
·
Barang atau jasa tersebut
telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
·
Dibuat oleh perusahaan
yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
·
Barang atau jasa tersebut
tersedia.
·
Tidak mengandung cacat
tersembunyi.
·
Kelengkapan dari barang
tertentu.
·
Berasal dari daerah
tertentu.
·
Secara langsun g atau
tidak merendahkan barang atau jasa lain.
·
Menggunakan kata-kata
yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap.
·
Menawarkan sesuatu yang
mengandung janji yang belum pasti.
3.
Larangan dalam penjualan
secara obral / lelang Pelaku
usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang
mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
·
Menyatakan barang atau
jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
·
Tidak mengandung cacat
tersembunyi.
·
Tidak berniat untuk
menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
·
Tidak menyedian barang
dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4.
Larangan dalam periklanan Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan ,
misalnya:
·
mengelabui konsumen
mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif
jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
·
Mengelabui jaminan /
garansi terhadap barang atau jasa.
·
Memuat informasi yang
keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
·
Tidak memuat informasi
mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
·
Mengeksploitasi kejadian
atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
·
Melanggar etika atau
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
11.6
Klausula Baku Dalam Perjanjian
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang
dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam
transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya
mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut:
1.
Pengalihan tanggungjawab dari pelaku
usaha kepada konsumen;
2.
Pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3.
Pelaku usaha berhak menolak
penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
4.
Pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5.
Mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa;
7.
Tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan
yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
8.
Konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
11.7
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen
untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem
tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu
ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:
1.
Pelaku Usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen
akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa
yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4.
Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure
kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.”
Undang-undang
perlindungan konsumen bab VI tentang tanggung jawab pelaku usaha Pasal 19:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen
Pasal 20
Pelaku usaha
periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang
ditimbulkan oleh iklan tersebut
Pasal 21
1.
Importir barang bertanggung jawab sebagai
pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan
oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri
2.
Importir jasa bertanggung jawab
sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak
dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing
Pasal 22
Pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian
Pasal 23
Pelaku usaha yang
menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi
atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen
Pasal 24
1.
Pelaku usaha yang menjual barang
dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a.
pelaku usaha lain menjual kepada
konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.
pelaku usaha lain, didalam transaksi
jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan
oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
2.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa
menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau
jasa tersebut
Pasal 25
1.
Pelaku usaha yang memproduksi barang
yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu)
tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib
memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
2.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan
konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a.
tidak menyediakan atau lalai
menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b.
tidak memenuhi atau gagal memenuhi
jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau
garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.
barang tersebut terbukti seharusnya
tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan
b.
cacat barang timbul pada kemudian
hari
c.
cacat timbul akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.
kelalaian yang diakibatkan oleh
konsumen
e.
lewatnya jangka waktu penuntutan 4
(empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti
rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha
11.8
Sanksi – Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Administratif
Pasal 60
1. Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26.
2. Sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
3. Tata cara
penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan
terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
1. Pelaku
Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
2. Pelaku
usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan
barang tertentu;
b. pengumuman
keputusan hakim;
c. pembayaran
ganti rugi;
d. perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
f.
pencabutan izin usaha
12.1
Pengertian
Sebelum dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak
sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum
dan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Berdasarkan
rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan
sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda
paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan ‘persaingan
curang’ bila memenuhi beberapa kriteria sbb:
1.
Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai
persaingan curang
2. Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka
mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan atau perusahaan
3. Perusahaan, baik milik si pelaku maupun perusahaan
lain, diuntungkan karena persaingan curang tersebut
4. Perbuatan persaingan curang dilakukan dengan cara
menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu
5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut
menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari orang lain yang diuntungkan dengan
perbautan si pelaku
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan
pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 4
ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus
dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan
merugikan kepentingan umum.
12.2 Asas dan
Tujuan
Dalam
melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha.
Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah:
1.
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat
2.
Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil
3.
Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
4.
Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha
12.3 Kegiatan Yang
Dilarang
1.
Monopoli
Monopoli
adalah pengadaan barang dagangan tertentu sekurang-kurangnya sepertiganya
dikuasai oleh satu orang atau kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
2.
Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang dan dikuasai oleh
seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
3.
Penguasaan pasar
Penguasaan pasar merupakan proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar
yang berupa:
1.
Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu
untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
2.
Menghalangi konsumen untuk melakukan hubungan
dengan pelaku usaha pesaing pada pasar bersangkutan
3.
Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku
usaha tertentu
4.
Persengkongkolan
Persekongkolan berarti berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan.
Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam
Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb:
1.
Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain
untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat
2.
Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia
perusahaan
3.
Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi
berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.
Pasal 1
angka 4 UU No.5 Th.1999 menyebutkan bahwa posisi dominan
merupakan keadaan pelaku usaha yang tidak adanya pesaing yang berarti di
pasar ybs dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai atau pelaku
usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan kemampuan keuangan , akses pada pasokan, penjualan, dan
menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Persentase
penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi
dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
1.
Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
2.
Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok
pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
5.
Jabatan rangkap
Seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan
dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu
yang bersamaan apabila:
1.
Berada dalam pasar bersangkutan yang sama
2.
Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan
atau jenis usaha
3.
Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang
dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat.
6.
Pemilikan saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan
yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan
tersebut mengakibatkan persentase penguasaan pasar yang dapat dikatakan
menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).
7.
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang
bukan berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan
terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang melakukan
tindakan penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat praktik
monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28).
Hanya
penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor
5 Tahun 1999 Pasal 14.
12.4
Perjanjian Yang Dilarang
Menurut
UU No. 5 Tahun 1999, Penjanjian yang Dilarang adalah sebagai berikut :
1.
Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen
dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
·
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan ataupemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
·
Pelaku usaha
patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa
bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75%
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2.
Penetapan harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian sbb:
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama
·
Perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga
yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan
3.
Pembagian
wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi
pasar terhadap barang dan atau jasa.
4.
Pemboikotan
·
Pelaku usaha
dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
·
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak
menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan
tersebut berakibat:
·
Merugikan atau
dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain
·
Membatasi
pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari
pasar bersangkutan.
5.
Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang atau jasa.
6.
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap
perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau
pemasaran barang dan ataujasa.
7.
Oligopsoni
·
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan
harga barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan
·
Pelaku usaha
dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung.
9.
Perjanjian
tertutup
·
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat
tertentu.
·
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang
dan atau jasa lain dari pelaku.
·
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas
barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima
barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain:
-
Harus bersedia
membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok
- Tidak akan
membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang
menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihakluar negeri yang
memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
13.1 Hal-Hal
Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5
Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
Pasal 50
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas
kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain
produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c. perjanjian penetapan standar teknis produk
barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya
tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk
peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
f. perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan
untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam
negeri;
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha
kecil;
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus
bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan
kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan
Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah.
13.2 Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU
adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU no. 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tugas
·
Melakukan penilaian terhadap
perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 16;
·
Melakukan penilaian terhadap kegiatan
usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
·
Melakukan penilaian terhadap ada atau
tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
·
Mengambil tindakan sesuai dengan
wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
·
Memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
·
Menyusun pedoman dan atau publikasi
yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
·
Memberikan laporan secara berkala
atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang
·
Menerima laporan dari masyarakat dan
atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
·
Melakukan penelitian tentang dugaan adanya
kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
·
Melakukan penyelidikan dan atau
pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
·
Menyimpulkan hasil penyelidikan dan
atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
·
Memanggil pelaku usaha yang diduga
telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
·
Memanggil dan menghadirkan saksi,
saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini;
·
Meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana
dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
·
Meminta keterangan dari instansi
Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
·
Mendapatkan, meneliti, dan atau
menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau
pemeriksaan;
·
Memutuskan dan menetapkan ada atau
tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
·
Memberitahukan putusan Komisi kepada
pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
·
Menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
13.3
Sanksi
Sanksi terhadap
perjanjian yang dilanggar tertuang dalam pasal 47, pasal 48 dan pasal 49 UU
No.5 Tahun 1999 yaitu :
·
Tindakan Administratif (Pasal 47)
1.
Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
2.
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat berupa:
a.
Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b.
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d.
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e.
Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan
badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan
atau
f.
Penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g.
Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah).
·
Pidana Pokok (Pasal 48)
1.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai
dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal
28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal
8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang
ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
·
Pidana Tambahan (Pasal 49)
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
Pencabutan izin usaha; atau
b.
Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti
melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5
(lima) tahun; atau
c.
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
14.1 Pengertian
Sengketa
Sengketa
dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara
individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok
dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan
negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata
lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat
terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Sengketa
adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain,
yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua.
Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang
dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang
dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak
karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam
suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi
wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak (Nurnaningsih Amriani, 2012:
12). Menurut Nurnaningsih Amriani (2012: 13), yang dimaksud dengan sengketa
adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena
adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah 17 18 satu pihak dalam perjanjian.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Takdir Rahmadi (2011: 1) yang mengartikan
bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang
saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihanperselisihan
yang ada pada persepsi mereka saja. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
sengketa ialah suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang
saling mempertahankan persepsinya masing-masing, di mana perselisihan tersebut
dapat terjadi karena adanya suatu tindakan wanprestasi dari pihak-pihak atau
salah satu pihak dalam perjanjian.
14.2 Penyelesaian
Sengketa
1. Penyelesaian
Sengketa melalui Litigasi
Proses
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau yang sering
disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa yang
dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk
mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim. Litigasi merupakan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa
saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka
pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi
adalah putusan yang menyatakan win-lose solution (Nurnaningsih Amriani, 2012:
35). Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis,
menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak
responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian
sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses
peradilan formal ini lah yang 21 disebut dengan “Alternative Dispute
Resolution” atau ADR (Yahya Harahap, 2008: 234).
2. Penyelesaian
Sengketa melalui Non-Litigasi
Dalam
penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya
penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR),
yang dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu
pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para
pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di
pengadilan. Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian
sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi
kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung (Buku
Tanya Jawab PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, 2008:
1).
14.3 Negosiasi
Menurut Ficher dan Ury sebagaimana dikutip oleh
Nurnaningsih Amriani (2012: 23), negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa
yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho (2009: 21) bahwa negosiasi ialah
proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui
proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh
kedua belah pihak.
14.4
Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak
ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat
membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka
sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar (Nurnaningsih Amriani,
2012: 28). Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa
para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap 23 netral,
dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang
fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan,
kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat (Susanti Adi Nugroho,
2009: 21).
14.5
Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase
(wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan
yang mungkin terjadi 22 maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak
dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga
serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang
selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
14.6
Perbandingan
antara Perundingan, Arbitrase, dan Litigasi
Proses
|
Perundingan
|
Arbitrase
|
Litigasi
|
Yang
mengatur
|
Para
pihak
|
Arbiter
|
Hakim
|
Prosedur
|
Informal
|
Agak
formal sesuai dengan rule
|
Sangat
formal dan teknis
|
Jangka
waktu
|
Segera
(3-6 minggu)
|
Agak
cepat (3-6 bulan)
|
Lama(>
2 tahun)
|
Biaya
|
Murah
(low cost)
|
Terkadang
sangat mahal
|
Sangat
mahal
|
Aturan
pembuktian
|
Tidak
perlu
|
Agak
informal
|
Sangat
formal dan teknis
|
Publikasi
|
Konfidensial
|
Konfidensial
|
Terbuka
untuk umum
|
Hubungan
para pihak
|
Kooperatif
|
Antagonistis
|
Antagonistis
|
Fokus penyelesaian
|
For
the future
|
Masa
lalu
|
Masa
lalu
|
Metode
negosiasi
|
Kompromis
|
Sama
keras pada prinsip hukum
|
Sama
keras pada prinsip hukum
|
Komunikasi
|
Memperbaiki
yang sudah lalu
|
Jalan
buntu
|
Jalan
buntu
|
Result
|
Win-win
|
Win-lose
|
Win-lose
|
Pemenuhan
|
Sukarela
|
Selalu
ditolak dan mengajukan oposisi
|
Ditolak
dan mencari dalih
|
Suasana
emosional
|
Bebas
emosi
|
Emosional
|
Emosi
bergejolak
|
DAFTAR
PUSTAKA